Sepeda Merah

Judul buku : Sepeda Merah
Penulis : Kim Dong Hwa
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Jika ada yang pernah membaca trilogi novel grafis Warna; Warna Tanah, Warna Air, dan Warna Angin, pasti sudah tidak asing dengan nama Kim Dong Hwa. Sepeda Merah adalah salah satu karya Kim Dong Hwa yang bercerita mengenai desa di Yahwari. Di Indonesia sendiri, Gramedia menerjemahkan 2 volume dari seri Sepeda Merah ini. Yaitu Sepeda Merah volume 1 dan Sepeda Merah volume 2.  Sebenarnya ada 4 volume seri ini, tapi entahlah. Saya tidak mendengar lagi kabar selanjutnya. Volume 1 dan 2 saja sudah susah sekali dicari. Kali ini, saya hanya akan bercerita mengenai Sepeda Merah volume 1. Bukan apa-apa, pengen juga sih bahas volume 2-nya, tapi saya ga punya bukunya. Ini aja dapet ngasih dari salah satu temen yang baik sekali hatinya uuwuwuwuwuwuwuwuwuwu~~ :3

Karya-karya Kim Dong Hwa diaktegorikan sebagai novel grafis. Saya sendiri kurang paham bedanya komik sama novel grafis apa. Sebenarnya buku ini lebih mirip komik buat saya. Tapi kalo kata Gramed ini termasuk novel grafis, yauda, saya mah apa atuh. Ikut aja lah...

Sepeda Merah adalah cerita-cerita kehidupan seorang tukang pos di desa Yahwari, yang selalu mengantarkan surat-surat dengan menaiki sepeda merah. Kali ini saya akan bercerita mengenai beberapa kisah yang paling menarik perhatian saya. Mau diceritain semua takutnya kepanjangan. Jadi beberapa aja.

Kisah pertama di buku ini adalah tentang penduduk desa Yahwari yang tidak menggunakan nomor rumah untuk menandai rumah mereka. Setiap rumah ditandai dengan ciri fisik seperti “Rumah Kuning dalam Kehijauan”, atau “Rumah yang Bisa Dilihat di antara Dua Pohon Pinus Siam”, atau “Rumah dengan Banyak Anjing”. Bahkan ada yang menamakan rumahnya “Rumah Tempat Kita Merasa Semakin Baik dan Membaik”, atau “Rumah Paling Indah di bawah Langit Berbintang”. Sungguh sulit jadi tukang pos di desa Yahwari...

Kisah selanjutnya berjudul ‘Rumah Sang Penyair’. Si Mamang Pos ganteng dan baik hati di buku ini paling senang bila ada surat yang harus diantar ke rumah sang penyair. Kotak surat sang penyair mirip dengan rumah burung, dan biasanya setiap Mamang Pos ganteng ke sana, ia akan menemukan pesan kecil terlipat di dalam kotak posnya. Pesan itu untuknya, di depannya tertulis: “Terima kasih, Pak Tukang Pos.” Lalu ia akan membawa pesan terlipat itu ke tempat ia biasa menyendiri. Ketika ia membukanya, ada sebait puisi, yang dituliskan sang penyair untuknya. Setiap kali Mamang Pos mengantarkan surat untuk sang penyair, ia akan mendapat sebait puisi.

Lanjut ke kisah selanjutnya. Ada surat yang harus diantarkan ke Rumah Putih di Jalan yang Dijajari Pohon Poplar. Mamang Pos tidak pernah terlambat mengirimkan surat ke rumah ini. Bahkan di hari hujan sekalipun, ia akan datang dan mengantarkan surat. Ia senang sekali, karena setiap ia datang ke rumah itu, pemilik rumah selalu melambaikan tangan lewat sela gorden kepadanya. Sikap ibu pemilik Rumah Putih hangan dan menyenangkan sekali. Hari ini tidak ada surat untuk Rumah Putih itu, tapi Mamang Pos kemudian memetik sebuket bunga liar dan meninggalkannya di kotak pos Rumah Putih. Dan benar saja, ibu pemilik rumah membuka kerai gorden dan melambai kepadanya.

Kemudian ada kisah Teman si Pria Tua. Mamang Pos suatu hari mengantarkan surat kepada seorang pria tua. Ia biasa duduk di kursi kayu di depan rumahnya. Ternyata surat yang datang kepadanya hari ini adalah surat yang pernah dikirimkannya kepada temannya berbulan lalu. Surat itu dikembalikan kepad Pak Tua karena alamat temannya tidak ditemukan. Pak Tua kemudian menyadari, bahwa satu-satunya teman yang selalu mengiriminya surat sudah meninggal. Pak Tua itu kemudian berkata dengan pahit, “Sekarang tidak ada seorang pun yang akan mengirimiku surat. Aku tidak mempunyai satu surat pun untuk ditunggu.” Kisah ini ditutup dengan gambar kursi kayu kosong yang biasa diduduki Pak Tua di depan rumahnya.

Di desa Yahwari, ada sebuah rumah terpencil. Jarang ada orang yang melintas di rumah tersebut. Tapi setidaknya, ada satu orang yang selalu melintas di situ setiap hari. Di rumah terpencil itu tinggal seorang kakek tua seorang diri. Dia biasanya berdiri di depan rumahnya, hanya untuk menunggu Mamang Pos lewat, karena memang hanya Mamang Poslah yang suka melewati rumahnya. Namun sudah lama sekali kakek tua itu tidak menerima surat. Hari ini pun tidak. Namun Mamang Pos biasanya membawakannya berita-berita dari desa. Mamang Pos bilang, hari ini sapi milik walikota baru melahirkan anak sapi jantan. Kakek tua itu senang sekali karena bisa mendapatkan kabar terbaru dari desa. Setiap Mamang Pos membawakan kabar untuknya, ia kemudian akan berjalan ke tepi hutan, berbagi kabar tersebut ke makam istrinya.

Suatu hari, Mamang Pos mendapati seorang nenek tua sedang bercermin di teras rumah. Dia bertanya, “Lagi apa, Nenek?”. Nenek itu menjawab, “Lagi ngitung keriput, Mang.” Kata Mamang Pos, “Buat apa diitungin? Kenapa orang biasanya cemas dengan keriput?” Nenek itu bilang dia baik-baik saja dengan keriputnya. Katanya, “Ketika menua, kita kehilangan ingatan. Karena itulah kita menggambar semua jejak itu di wajah-wajah kita, agar kita tidak melupakan apa-apa. Garis yang kita buat sambil tertawa terlihat di dekat mata. Garis sulit yang kita buat sambil menggigit gigi, terlihat di samping mulut. Keriput yang panjang untuk jalan yang panjang, keriput yang pendek untuk jalan yang pendek.” Kisah ini adalah tentang filososfi keriput. Setelah membaca ini, semoga kalian melihat keriput dengan cara yang berbeda. Barakallah.

Musim Gugur di Yahwari adalah masa-masa paling sibuk dalam sejarah perjalanan Mamang Pos. Setiap ia mengantarkan surat ke satu rumah, pemilik rumah itu akan menitipkan sesuatu kepada mamang Pos untuk diberikan kepada kerabatnya di tempat lain. Mamang Pos selalu mengiyakan, toh ia berkeliling di desa itu. Setiap musim panen, tas sepedanya selalu penuh bahan makanan. Labu, ketela jepang, cabai, buah persik. Mamang Pos berkata, “Saat musim gugur, tukang pos mengirimkan kasih sayang.”

Masih ada banyak kisah di buku ini. Mulai dari Mamang Pos berhasil jodohin sepasang kekasih yang malu-malu, Mamang Pos dikerjain anak kecil supaya bisa ngasih permen, Mamang Pos yang kehilangan salah seorang yang selalu menunggunya, Mamang Pos mengantarkan gadis dari kota jalan-jalan keliling desa. Setiap kisah di buku ini terasa hangat dan menyenangkan. Kesan yang saya tangkap, Desa Yahwari ini adalah desa orang tua. Hampir semua tokoh yang ditemui Mamang Pos adalah orang tua. Sepertinya di Desa Yahwari, hanya dia yang masih muda. Muda, sehat karena sepedaan mulu, sepedanya merah unyu. Mamang Posnya juga digambarkan ganteng (rambutnya gondrong, mukanya bulet), ramah, baik hati, cukup romantis sepertinya. Mamang Pos ini menyukai puisi, dia menanam sendiri pohon bunga di tepi jalan yang akan dia lewati, suka dengan dandelion-dandelion yang beterbangan, suka mengirim bunga, bahkan dia mengisi kotak pos desa dengan bunga bila kotak posnya kosong. Hati Mamang Pos terasa sepi bila kotak pos desa kosong, rasanya seperti pulang ke rumah namun mendapati ibunya tidak ada.

Novel grafis yang mirip komik ini hanya memiliki 114 halaman. Termasuk tipis, dan bisa dibaca dalam sekali duduk. Bahkan oleh beberapa orang, saya yakin bisa dibaca dalam sekali ngarenghap. Namun saya cukup kaget juga ketika melihat daftar isinya yang memuat 30 cerita. Buat saya pribadi, selain gambarnya yang unyu, semua cerita di buku ini menarik, walaupun satu cerita hanya dimuat dalam 4 halaman (yang sebagian besar isinya gambar, ya namanya juga novel grafis). Kisah-kisahnya lembut, sederhana, dan menghangatkan hati sekali.



Ditulis oleh : Tim Senin Ulasan

No comments:

Post a Comment

Halo ! Silakan tinggalkan komentar dengan menggunakan bahasa yang baik. Link hidup akan otomatis terhapus ya n_n

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com