Gendu Mulatif, Pahlawan Orang-orang Gila

Pernah sering merasa kasihan ketika melihat orang yang terganggu jiwanya berkeliaran di jalan, mengais tong sampah, mencari sisa-sisa nasi yang sudah tak layak untuk dimakan. Pernah melihat orang seperti itu ditendang-tendang, dikeroyok manusia yang merasa dirinya “waras”? Atau pernah melihat orang gila mengamuk di jalanan?
Di suatu hari seorang pria yang punya gangguan kejiwaan sedang mengamuk di sebuah perempatan jalan di kota Bekasi yang menyebabkan kemacetan panjang. Tidak ada satu orangpun yang berani mendatangi orang tersebut karena ia sedang memegang sebilah samurai panjang dengan posisi siap menyerang. Demikian juga aparat kepolisian yang kebingungan harus melakukan tindakapan apa. Tiba-tiba seorang pemuda berusia 30-an mendatangi orang tersebut seraya menyerahkan sebungkus nasi. Orang2 hanya bisa menonton dan menunggu tindakan pria yang sedang mengamuk tersebut. Kegusaran usai karena si pria malang itu akhirnya mengambil nasi bungkus dan langsung makan dengan lahap. Ia melupakan samurai panjang yang ia letakan begitu saja. Insiden yang tidak dinginkan bisa dihindari berkat pemuda itu, yang ternyata adalah seorang wakil perawat yang sudah punya pengalaman belasan tahun mengurus pasien ganguan kejiwaan di Yayasan Galuh di Bekasi.
                                        

Yayasan Galuh didirikan oleh Gendu Mulatip. Gendu Mulatif, seorang kakek renta sejak 1982 silam berkutat dalam upaya menyembuhkan orang-orang yang terganggu ingatannya. Mereka dicarinya di berbagai tempat. Di pasar, di emperan jalan, saat tengah mengais tong sampah, saat tengah keluar masuk kampung, bahkan ketika para manusia malang itu terancam dikeroyok warga. Mereka terkucil. Terpinggirkan. Mereka dibawanya pulang, dan berusaha disembuhkan.
Awalnya mereka ditampung dalam rumahnya yang sederhana di Poncol, Bekasi Timur. Namun akhirnya ia dan para “pasiennya” harus pindah ke tempat yang lebih luas, yang tak begitu jauh dari lokasi pertama, karena “pasiennya” terus bertambah.

Apa yang ia dapatkan dari upaya luar biasa itu?
“Justru saya yang mendapat banyak hikmah. Tentang betapa berharganya akal, tentang betapa berharganya rasa malu yang dikaruniai Alloh. Juga tentang bagaimana pun terganggunya, mereka tetap manusia, yang perlu perhatian, sama seperti orang normal. Kalau kita baik dan ikhlas, mereka juga tahu.”Ketika berinteraksi dengan mereka, ia kadang menangis, karena merasa mereka jauh lebih besar kemungkinannya masuk surga dibanding dirinya. “Karena mereka sudah tidak lagi menanggung dosa, sayalah yang berharap bisa “nebeng” mereka nanti di akhirat, ke dalam ampunan Alloh.  Dengan berusaha merawat mereka.”*

 

November 10, 2006

Baba Gendu, demikian lelaki kelahiran 10 Agustus 1916 ini biasa dipanggil warga Kampung Poncol, Bekasi Timur. Di usia tuanya, Baba Gendu menangani dan mengobati ratusan pasien cacat mental dan gangguan jiwa, yang ditampung di pantinya, Yayasan Galuh Rehabilitasi Cacat Mental, di Jalan M Hasibuan, Margahayu, Bekasi Timur. Pasiennya sudah tak terhitung lagi. Dari propinsi Aceh hingga Papua, semuanya pernah tinggal di sini Yayasan Galuh didirikan oleh Gendu Mulatif, tahun 1984 dan diresmikan namanya pada 12 Desember 1994.
Galuh adalah singkatan dari kata Gagasan Leluhur. Nama itu diambil karena ia merasa kemampuannya didapat dari para leluhur yang telah melahirkannya. Yayasan itu dikelola Bersama anak dan cucunya, mengurus ratusan pasien.

Perkenalan Baba Gendu, dengan perawatan dan pengobatan orang-orang cacat mental serta gangguan jiwa berawal tahun 1982. Awal mulanya adalah kehadiran seorang perempuan yang diteriaki orang gila oleh anak-anak kecil. Tak hanya berteriak, mereka juga melempar batu. Merasa dilempar batu, perempuan tersebut membalas tanpa sadar. Sialnya, lemparannya tepat mengenai jidat salah satu anak itu. Warga pun geger. Gendu, yang menjadi ketua RT di daerah tersebut langsung bertindak. Perempuan gila itu ia bawa pulang ke rumah, ia suruh mandi, ganti baju, makan, tidur. Besoknya, ia obati. Dua minggu kemudian, perempuan itu sudah mulai sadar, bisa cerita. Gendu menyuruhya pulang. Dua bulan kemudian, perempuan itu datang lagi, sudah bawa KTP (kartu tanda penduduk). Di situ hatinya mulai terketuk Hingga kemudian timbul keinginan untuk menjadikan tempat tinggalnya sebagai panti rehabilitasi orang yang mengalami gangguan kejiwaan.

Sejak itu, setiap sore Baba Gendu mulai berkeliling, dari pos penjagaan sistem keamanan lingkungan (siskamling) ke pos penjagaan siskamling lainnya. Dengan dua sedan bututnya, Toyota Crown warna hitam tahun 1989 dan Toyoto Corolla warna merah tahun 1978, Baba Gendu keluar kota hanya untuk menjemput mereka yang mengalami gangguan mental dan mengantar ke rumah tatkala mereka sembuh.
Kabar pun berkembang. Nama Baba Gendu dikenal sebagai penyembuh gangguan jiwa. Giliran rumah Baba Gendu, yang didatangi orang-orang atau bahkan petugas dinas sosial yang membawa pasien gangguan jiwa. Karena banyak yang harus ditampung sementara lahan rumah terbatas dan sempit, Baba Gendu memindahkan tempat penampungannya ke lokasi baru, yang sekarang lebih dikenal sebagai panti.
Di panti ini juga diobati dan dirawat pasien gangguan jiwa akibat kecanduan narkotika. Bahkan ada orang jompo dan orang telantar dibawa ke sana juga sehingga membuat  bingung menampungnya.

Beliau berprinsip, sampah saja ada tempat pembuangannya, banyak yang bisa dimanfaatkan kembali. Apalagi manusia, ciptaan Tuhan paling sempurna, mereka memang gila, tp mereka tetap layak di rawat dan disembuhkan. Walaupun rumahnya selalu bau busuk dan tak jarang orang gila itu buang hajat disembarang tempat, beliau ttp sabar

Metode pengobatan yang dipakai Pak Gendu sangat sederhana. Dalam kesehariannya, Baba Gendu menerapkan lima cara pengobatan, yaitu doa, pitua atau nasihat, ramuan, urut, dan pijat. Doa, misalnya, diterapkan bagi pasien yang mengalami tekanan batin atau stres. Sementara pitua atau nasihat bagi pasien yang terkena gangguan jin dan makhluk halus atau karena tidak kuat belajar ilmu. Ramuan biasanya diberikan kepada pasien yang terlalu banyak obat-obatan. Pasien yang terganggu jiwanya akibat syaraf urat diberikan metode urut. Untuk metode pijat, biasanya diberikan kepada pasien yang mula akibatnya karena benturan. Tergantung permasalahan awal pasien.
”Kuncinya adalah sabar, jujur, rendah hati, murah hati, dan bijaksana. Itu kunci segala ilmu pangkal jaya. Itu yang kami jiwai di panti ini,”  Para perawat pun ditekankan untuk tidak menganggap ini sebagai pekerjaan. “Anggap saja hobi. Kalau ini dianggap pekerjaan, bisa stress,”
fasilitas yang diberikan tak pernah awet dirusak pasien sendiri. Terhitung 6 TV hancur. Raket bulutangkis, Meja pingpong, Telpon, VCD player mengalami nasib yang sama. Tak berusia lama. Dalam merawat pasien, hati harus benar-benar lurus. Sedikit saja bengkok, yang ada hanya sakit hati. “Untuk menyembuhkan mereka, yang perlu diingat adalah satu kata dalam perbuatan, hati gembira adalah obat dan patah tumbuh hilang berganti,”
Dengan  metode2 tersebut sudah tidak terhitung pasien yang berhasil disembuhkan dan dikembalikan ke masyarakat. “Adalah kebahagaian yang tak terperi manakala melihat kesembuhan pasien dan bertemu kebali dengan keluarganya. Sesekali ada diantara mereka yang berkunjung ke sini untuk mengucapkan terima kasih”

Dengan keaktifannya, yayasan ini terus mencari pasien. Bahkan, bila ada permintaan, pihak yayasanlah yang menjemput para pasien. Pengumuman orang hilang yang tayang di SCTV banyak ditemukan di sini. Banyak juga pasien gila yang datang karena rumah sakit menolak merawatnya. Kepala polres Bekasi Timur pernah terkaget-kaget. Ketika berkunjung ke panti ini, didapati ternyata pasiennya banyak berasal dari kantor polres yang ia pimpin.
Bapak Suhartono, staf Yayasan menjelaskan “kalo di jalan ada wanita cantik, belum tentu saya liat. Tapi kalo ada orang gila, udah pasti saya berenti, tanya2 dan ujung2nya membawa mereka ke sini.”

Saat ini panti menampung hampir 300 orang pasien baik laki-laki, anak-anak, atau perempuan. Para staf dengan sukarela menampung para pasien yang seringkali mereka temukan di jalanan selain titipan dari instansi kepolisian, RS Umum Bekasi, dan orang-orang yang membawa anggota keluarga yang terkena gangguan kejiwaan. Tidak semua pasien adalah orang-orang terlantar, banyak di antara mereka justru punya penghidupan yang berkecukupan dan beberapa adalah tokoh masyarakat. Pencetus masalah kejiwaan mereka biasanya bersumber dari tekanan hidup seperti PHK, putus cinta, kecelakaan yg berakibat syaraf putus, cita-cita yang tidak kesampaian dan genetis serta narkoba. Bapak Suhartono menambahkan bahwa rata-rata pasien di sini cukup ganas, namun tetap ia urus dengan kekeluargaan. Biasanya orang-orang seperti itu menjadi sakit karena kurangnya kasih sayang, sehingga mereka harus diurus dengan kasih sayang pula.

Cara untuk mengontrol pasien yang baru datang adalah dirantai selama 3-4 hari. Selama itu, kotoran dari pasien dibersihkan oleh pengurus . Setelah itu, baru dilihat apa faktor penyebab sakit si pasien, baru ditentukan apakah pasien ini akan diberikan doa-doa, dipijit, dan semacamnya. Menangani orang gila seperti bertaruh nyawa. Gigi patah. kelingking putus, jidat sobek, dagu kena besi panas, karena ada-ada saja ulah pasien. Namun para staf Yayasan masih ada di sini untuk membantu mereka sembuh.Yayasan tidak pernah memungut bayaran sepeserpun terhadap pasiennya.
Demi menunjang kegiatan panti, termasuk menjamin setiap pasien memperoleh makanan yang memadai, Yayasan Galuh bertumpu dari sumbangan keluarga pasien, donatur, dan bantuan tidak tetap dari pemerintah. Selain itu, Baba Gendu juga memberikan seluruh penghasilan dari penyewaan 15 delman,   jual beli kuda ke yayasan dan empang kolam ikan yang tak seberapa besar.
                Kita juga pernah Bahas Eiji Yoshikawa lho, baca ulasannya di sini
February 23, 2009
Yayasan dibantu oleh sekitar 60 orang staf, beberapa di antaranya adalah mantan pasien, kesemuanya bekerja secara sukarela tanpa pamrih dengan sangu sekedarnya. “Di luar saya mungkin bisa mendapatkan gaji lebih besar dari di sini, tapi kebahagian yang saya rasakan tidak bisa diukur dengan uang” kata salah seorang juru masak dan staf lainnya kalau ditanya alasan mereka berada di tengah para pesakitan. Para staf mungkin tidak mempunyai gelar akademis dibidang psikiatri, tapi berkat pengalamannya yang panjang beberapa staf pernah diminta menjadi pembicara dalam sebuah seminar nasional mengenai masalah kejiwaan yang dihadiri oleh para ahli masalah kejiwaan. Setahun sekali sejumlah pasien dibawa untuk memeriahkan kegiatan Agustusan di tingkat kota Bekasi dalam sebuah pawai.
Ahahaha.. Saya mah dibawa seneng aja. Tiap acara pawai itu kan rame sekali orang2 di samping jalan, pas kita2 lewat mereka minggir. Saya kira mereka menghormati kita, eh ternyata karena takut, hehehe. Kurang lucu apa coba kalo barisan kita yang harusnya ke depan eh malah jalan mundur?
Di sini juga pernah berlangsung pernikahan antara pengurus dan mantan pasien, yang dihadiri oleh Bapak Walikota Bekasi. “Pernikahan itu sungguh merupakan keajaiban. Kami yang tidak mempunyai dana untuk biaya pernikahan, tiba2 ada rejeki dari beberapa media untuk melaksanakan hal itu. Pak walikota datang juga dan sempat menangis karena terharu.
Lain kali para pasien diminta berlatih upacara bendera masih dalam rangka acara Agustusan. Saat berlatih keadaan malah menjadi semrawut, tapi anehnya saat upacara semua berjalan lancar. Beberapa pasien malah sembuh dan mulai mengingat kembali kejadian masa lalu yang sebelumnya tersembunyi dalam alam bawah sadar mereka.

Pasien suka memakan sembarang benda. Dari kulit buah, daun, hingga kotoran manusia. Kebiasaan makan sembarangan itu menunjukkan kadar gangguan mental si pasien. Pengasuh lain, Suharyono, mengatakan, jika sampai makan kotoran, kadar gangguannya sudah sangat parah. Orang dengan gangguan jiwa umumnya juga mengalami gangguan indera, terutama peraba dan perasa. Tidak bisa membedakan pedas, manis, pahit, atau asam. Luka di tubuh pun kerap tidak dirasakan, sehingga gampang menyakiti diri sendiri. Di sini istilahnya, orang gila kalau sakit perut memegang kepala, kalau sakit kepala memegang perut. Tiba-tiba seorang pasien mendatangi kami, meminjam mikrofon. Ia bergaya mirip penyiar televisi. Tapi tidak jelas yang dikatakannya. Pasien itu tak bisa dibujuk untuk menyanyi. Tapi di seberang sana, dekat mushola yayasan, sayup-sayup terdengar seorang pasien bernyanyi. Sejenak Suharyono memandang musholla itu. Sambil tersenyum ia mengenang cerita-cerita lucu masa lalu. “Kami kan punya mushola baru. Waktu itu pas bulan Ramadhan. Ada empat pasien.. Pak tarawih dong pak. Kita bikin tarawih. Saya nunggu di pintu. Setelah pasien ambil wudhu, pasien itu azan. Suaranya enak. Hati saya sumringah. Satu orang masuk lagi, azan lagi. Orang ketiga masuk, azan lagi. Kapan sembahyangnya ini?”
“Saya kadang menangis kalau hari Lebaran. Yang saya tangisi mereka. Belum tentu saya ke rumah tetangga dulu atau orang tua. Saya minta maaf dulu ke mereka. Orang-orang takbir, saya keluarin dia… Ayo takbir. Hari ini bikin bedug, besok rusak. Mukulnya nggak kira-kira. Hari ini beli mik, besok kabelnya kagak ada. Putus. Dikantongin mik sama dia.”

Mesjid di Yayasan  adalah hasil gotong royong para pasien sebagai salah satu bentuk metode penyembuhan. “Mereka semua dilibatkan dalam kegiatan sehari-hari karena kami menganggap mereka manusia normal. Petuah Pak gendu selalu kami ingat dan digunakan untuk proses kesembuhan pasien di sini : “Hati yang gembira adalah obat”.

Ada juga pengurus, sebut saja Pak Arif, yang mengabdikan hidupnya di sini lebih termotivasi karena ingin meringankan beban mereka yang senasib dengan istrinya. Sudah sepuluh tahun, sejak menikah, istrinya menderita gangguan kejiwaan. Jika sedang kambuh, tidak segan-segan sang istri menanggalkan pakaian meski berada di antara orang banyak. Empatinya yang sangat besar atas penderitaan istrinya menjadi alasan kuat mengapa ia terpanggil.
Sebagai ketua perawat di sini, Pak Suhartono banyak dibantu oleh adik kembarnya, Pak Suharyono. Menurut mereka, kondisi sekarang ini sudah jauh lebih baik. Ketika Galuh masih belum pindah ke Bekasi, bahkan untuk menyiram kotoran saja mereka menggunakan ember. Terkadang, begitu disiram, air kembali ke wajah mereka. Adalah sebuah kemewahan mereka dapat makan dengan tumis kangkung pada waktu itu. Pernah suatu ketika ada seorang orang sakit jiwa tua yang tengah sakit parah. Lelaki tua itu mereka ambil di jalanan. Namanya Widodo. “Itu karakternya unik, lain. Saya sayang sama dia. Tapi dia nggak ada keluarga. Tiba-tiba dia sakit. Dia renta, dia punya aura bagus. ‘Yon, gimana nih? Pak Dodo berak-berak. Gue punya duit 20 rebu.’ Ya udah kita bawa ke rumah sakit. Sampai ke rumah sakit tidak diterima, walau sudah ada surat keterangan yayasan galuh. Nggak diterima juga. Saya gendong. BAB jatuh semua ke badan saya. Saya nangis. Kasihan kan kita nolongin orang. Bukan sodara bukan keluarga. Saya keliling tidak dapat juga. Akhirnya saya dudukin di tukang rokok. Saya capek. Saya pikir dia tiduran. Ternyata meninggal. Saya nggak bisa ngomong apa-apa. Lemes. Tapi dia senyum. Saya gendong mayat itu dari sana ke yayasan. Ditanya sama temen. ‘Woi mana?’ Sodara gue nih tidur. Padahal mayat. Tiba-tiba, setengah lima, awan gelap. Hujan, gleger-gleger. ‘Ton gimana nih? Kain kafan nggak ada’. Udah jam tangan gue aja dijual. Handphone nggak ada, uang nggak ada. Sama kakak saya berdua. Nangis saya. Gali kuburan dalam keadaan banjir. Ya Allah, tolong saya. Sekarang beli kain kafan ke Pasar Baru. Setelah mau dikubur, ada aja orang nggak terima. ‘Ei pak, jangan dekat kuburan sodara saya atau bapak saya. Nanti ketularan gila’. Orang udah meninggal, tidak ada urusan dengan dunia, kenapa dipertanyakan? Walaupun punya predikat sakit jiwa, ternyata di kuburan, tetap predikat kuburan orang gila. Coba sampai mana?”

Gendu Mulatif dan Yayasannya kini sudah merawat hampir 10.000 orang gila.. Tahun 2009 , kerja keras Baba Gendu dan Yayasannya mendapat penghargaan dari Metro TV. Kick Andy memberi anugerah berupa penghargaan kepada pribadi-pribadi yang telah berjasa bagi banyak orang lewat Kick Andy Heroes 2009.

Lewat tangan pak Gendu, ratusan orang sudah disembuhkan. Salah satu cara penyembuhan adalah dengan memberi mereka banyak kegiatan. “kegiatannya bisa apa saja mulai dari bantu-bantu melakukan tugas-tugas kecil kepada pasien, misalnya menyapu atau mencuci piring supaya menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa  tanggung jawab pasien terhadap lingkungannya, orang sembuh disini bukan oleh obat. Obat hanya untuk menenangkan misalnya untuk tidur
Namun kepulihannya pun tergantung ada yang cepat dan lama. “Kita hanya mencoba menyembuhkan saja, soal waktunya itu kuasa dari Tuhan Yang Maha Esa” Namun biasanya gejala orang itu akan sembuh akan nampak jika orang sakit mental tersebut sudah dapat berinteraksi. “Ya sekedar memberi salam kepada kita, itu pertanda yang bagus”
 “Sembuh dalam arti mereka dapat kembali lagi ke masyarakat untuk berkarya. Bagaimana pun juga, selalu ada proses untuk kesembuhan jiwa, terkadang ada masanya pasien yang telah dinyatakan sembuh itu kembali kumat,”
Eks pasien, Mahyudin, asal Tebet, Jakarta Selatan, adalah staf yang juga ikut membantu bahkan ketika dulu baru saja melangsungkan pernikahan dengan Nurhasanah, sesama pasien. Ia kembali ke Yayasan ini untuk mengabdi. “Saya merasa berhutang banyak kepada yayasan ini, sehingga saya ingin membantu teman-teman yang lain untuk sembuh seperti saya,”

Suasana Panti

atap kantor memakai asbes dan tripleks. Di ujung-ujungnya atap terbuka, dan sekeliling ruangan terlihat kusam dan tidak rapih. Barak pasien terbagi tiga. Di bagian kanan, merupakan tempat pasien wanita, dan di tengah dan sebelah kiri merupakan tempat untuk pasien pria. Bau sampah dicampur bau kotoran manusia yang belum dibersihkan serta penyakit kulit yang diderita pasien adalah pemandangan biasa. Kadang ditimpali Penampakan pasien yang telanjang. Pasien sengaja dicukur gundul, supaya tak cepat kotor atau kena sakit kulit karena jarang keramas. layaknya rumah sakit jiwa. adaaaa aja kelakuan dari para pasien. Ada nenek2 yang mondar mandir pake baju menyolok. “Nah, si Ibu ini nih emang doyannya yang berbau harta gitu (apa coba berbau harta..?), jadi kalo nemu gelang, kalung, atau apa gitu langsuung dipake semua.

Ada juga  cewek lewat, “AGUS!!!!!” si Agus ini diteriakin sama Pak Hartono karena.. MAKE BAJU CEWEK!!! Sontak si Agus ini langsung nangis! “Dah elah elu dah, baru dipanggil udah mewek. Kebiasaan bener!”. Bahkan ada seorang bayi mungil yang tinggal di sini. ia terlahir dari seorang ibu yang dinyatakan gila. "Itu ibunya, abis ngelahirin udah aja, bayinya kita yang urus. Rambutnya sengaja kita botakin, abisnya suka dicabutin sendiri",  Ada seorang laki-laki yang suka masuk ke ruang kantor sambil menyalami satu persatu`tamu yang sedang duduk lalu Memperkenalkan diri dengan nama "Andre". setelah semua disalami, kemudian Andre duduk di samping kursi salah satu tamu, lalu mengangkat kedua telapak tangan sambil berkata "saya lemah syahwat".

Seorang ibu tua bolak-balik menyalami siapa saja yang beliau temui, bisa sampai 2 atau 3 kali. Atau seorang perempuan yang tidak tau berapa usianya, senang sekali kalau difoto. Ada pasien yang ngaku2 kalo dia itu adalah santri dari Ciamis. Pertanyaan dari si “santri” ini ialah “Menurut Anda.. Nabi Muhammad itu punya KTP gak..?”
Lalu ada 2 pria yang dirantai bareng. Katanya, itu supaya seimbang. Si pasien yg satu maunya jalan2 terus, pasien satu maunya diem aja. Jadi mereka jalan beriringan, dan tanpa sadar saling mengontrol antara diri mereka asing2. “Makanya saya paling kesel sama orang egois. Liat aja, orang gila pun punya cara kok untuk berbagi. Kalo orang waras egois, itu mah lebih gila dari orang gila menurut saya.“,

ODMK: Mereka yang Terabaikan
Menurut Profesor Dadang Hawari dalam SUAR, Edisi 1 tahun 2009, diperkirakan dari sekira 220 juta penduduk Indonesia ada kurang lebih 50 juta atau 22 persen menderita gangguan jiwa, sementara hanya ada sekitar 700 psikiatris di 48 rumah sakit jiwa yang tersedia. Dalam beberapa pemberitaan tidak jarang dikabarkan juga bahwa jumlah penderita gangguan jiwa (Orang Dengan Masalah Kejiwaan—ODMK), dari level paling parah sampai paling ringan yang sering kita sebut stress, semakin meningkat seiring kondisi sosial-ekonomi yang tidak kunjung membaik dan beban kehidupan yang semakin berat dari waktu ke waktu.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2007 menunjukkan bahwa penderita gangguan berat di Indonesia terdapat di empat daerah utama yakni Jakarta 2,03 persen, Aceh 1,85 persen, Sumatera Barat 1,67 persen, Jawa Barat 0,22 persen. Di Indonesia, tidak mudah menjadi ODMK. Pengabaian dan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh negara tapi juga oleh masyarakat. Kebijakan negara menangani gangguan jiwa dapat dikatakan belum maksimal. Selain belum adanya UU Kesehatan Jiwa, menurut psikiater dari Universitas Indonesia, dr. Irmansyah, Sp.KJ, anggaran untuk penanganan penyakit jiwa juga kecil: tidak lebih dari 1% dari anggaran kesehatan. Bandingkan dengan Thailand, misalnya, yang mengalokasikan dana untuk penyakit jiwa sebesar 3%, Australia 8% atau bahkan negara maju menganggarkan dana kesehatannya untuk penyakit jiwa di atas 10%.

Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan, dokter Aminullah, mengakui, anggaran untuk kesehatan memang minim. Menurutnya, ini terjadi karena ada masalah lain yang menjadi prioritas, seperti, penurunan angka kematian ibu dan bayi, tingkat harapan hidup dan lain sebagainya. Implikasinya, fokus negara pada bidang kesehatan terarah pada hal itu sehingga persoalan kesehatan jiwa tidak mendapat cukup perhatian (SUAR, Edisi 1 tahun 2009). Kebijakan yang tidak berpihak pada ODMK ini melupakan efek domino yang ditimbulkan. Jika logika yang dipakai untuk tidak memprioritaskan kesehatan jiwa dalam isu kesehatan adalah karena ODMK tidak menyebabkan kematian, lantas jawaban apa yang dapat diberikan terhadap tingginya tingkat bunuh diri karena persoalan kesehatan jiwa? Berapa banyak gelandangan psikotik yang meninggal terlantar dan dianggap sampah masyarakat? Berapa banyak pasien jiwa yang tidak terselamatkan di panti-panti rehabilitasi karena lalai/terlambat diobati? Bagaimana sikap kita terhadap banyaknya pemuda terindikasi ODMK yang kehilangan masa produktifnya karena tidak maksimalnya pelayanan dan stigma serta penolakan masyarakat terhadap mereka? Ini belum mempertimbangkan derita yang harus ditanggung anggota keluarga. Banyak energi yang harus dikeluarkan untuk menghadapi kondisi yang tidak mengenakkan serta stigma yang mendiskriminasi ini. Tidak sedikit keluarga yang tidak tahan dengan kondisi ini dan memilih pasrah (untuk tidak mengatakan putus asa) dan menyerah pada saat anggota keluarganya pergi dan tidak kembali. Karenanya tidak mengherankan jika pada akhirnya kita banyak menjumpai gelandangan psikotik di pinggir-pinggir jalan, di pasar-pasar. Efek yang ditimbulkan, menurut saya, tidak kalah mengerikan.

Yayasan Galuh adalah sebuah Kepedulian di Tengah Keterbatasan
Tempat penampungan ODMK yang tidak terlalu hirau dengan pembiaran negara dan ketidakpedulian masyarakat atas kondisi ini. Terlepas dari cara pengobatan yang tidak berbasis medik-psikiatrik dan sering menjadi perdebatan, keberadaaan Yayasan Galuh dan orang-orang yang peduli (terutama) pada para gelandangan psikotik di sini benar-benar menyentuh hati. Panti rehab ini setidaknya membutuhkan sekitar 150 kilogram beras seharinya untuk tiga kali makan. Diperkirakan pengeluaran panti rehab ini per harinya sekitar Rp 3 juta.

Para pasien yang mengalami cacat mental itu harus makan tepat waktu agar tidak membuat keributan. Dengan penghasilan sekitar Rp 28 juta per bulan yang berasal dari donatur tidak tetap ini, hampir tak masuk di logika, Panti Galuh masih bisa berdiri sampai sekarang. Begitulah. Kemiskinan dan serba kekurangan sudah menjadi bagian dari hidup mereka bahkan sejak awal Yayasan Galuh berdiri. Hanya niat tulus dari pendiri dan para pengurusnya sajalah yang memungkinkan Yayasan ini masih ada dan berdiri sampai saat ini. Yayasan ini tidak pernah menolak siapa saja yang dikirim dengan atau tanpa bayaran. Terlepas dari cara pengobatannya yang bagi beberapa orang tidak masuk akal dan tidak akademis, yang mereka butuhkan justru dukungan dalam bentuk apapun, moral ataupun material: sebuah pendampingan.
Orang gila yang di luar sana dianggap sebagai lucu-lucuan, di kompleks ini menjadi sosok manusia yang patut dipikirkan dan dibantu oleh manusia lain yang merasa dirinya masih lebih waras.
Bantu mereka untuk menyelesaikan masalah ini !
Berikan support kalian agar Yayasan Galuh tetap ada.

Kalo ada temen2 yang mau bantu dalam sumbangan baju bekas, bisa langsung datang ke alamat panti di:
Jl. Cut Mutiah Kp. Sepatan Gg. Bambu Kuning IX RT 03/02 Sepanjang jaya Kec. Rawalumbu Bekasi 17114 dan nomor telpon (021 33622559), Suhanda Gendu (ketua yayasan yg baru) 0817184336

Karena Pak Hartono berpesan, kalau ada baju bekas yang mungkin bisa disumbangkan, mereka menerima dengan senang hati. inget lagunya Mbah Surip tentang orang gila yang ngaku2 kalo dia udah sembuh.. “Orang-orang.. Belum tahu, kalau aku sudah semboooh.. RT RW, belum tahu kalo aku sudah sembooh. Carik Lurah, Belum tahu, kalau aku sudah semboooh..”
Rabu, 26 Januari 2011,  Baba Gendu, pahlawan para orag gila itu berpulang. Kini, Baba Gendu sudah tiada. Salah satu kalimatnya yang juga paling diingat adalah: Bahagiakan orang lain kalau ingin diri kita bahagia.
Gendu Mulatif mungkin juga gila. Sama gilanya dengan orang-orang gila yang senantiasa dirawatnya. Tapi Gendu orang gila yang istimewa. Setelah Bapak Gendu meninggal, urusan panti diserahkan kepada kedua putranya, Suharyono dan Suhartono. Beruntunglah kedua putra beliau memiliki kepekaan dan kepedulian yang sama seperti ayahnya.

Selamat jalan Bapak Gendu,
semoga semakin banyak orang yang meneladanimu, semoga Allah menerima seluruh amal kebaikanmu,

No comments:

Post a Comment

Halo ! Silakan tinggalkan komentar dengan menggunakan bahasa yang baik. Link hidup akan otomatis terhapus ya n_n

copyright © . all rights reserved. designed by Color and Code

grid layout coding by helpblogger.com