Image source : Google Image |
EshaTegar Putra atau lebih dikenal sebagai Esha Tegar, lahir di Solok, Sumatera
Barat 29 April 1985, adalah seorang sastrawan, penyair,
dan pengajar Indonesia. Mulai menulis puisi pada tahun 2005, yaitu
sejak awal perkuliahan di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas. Ia
mulai tergoda menulis puisi ketika membaca puisi penyair Indonesia dari referensi
buku beberapa mata kuliah, dan hal lain yang mendorongnya untuk menulis adalah
disebabkan oleh beberapa seniornya yang sudah terlebih dahulu menulis, mengharuskannya
untuk menulis dan menerbitkan karya sastranya di media jika hendak meminjam
buku-buku teks bahan perkuliahan dan buku karya sastra mereka. Pada akhirnya ia
merasa puisilah yang memanggilnya untuk terus ditulis dan dipelajari. Esha
merasa menulis cocok dengannya sebab pekerjaannya lebih bersunyi-sunyi.
Selain menulis puisi, Esha juga menulis esai dan cerpen.
Saat merasa pikirannya terlalu kering untuk berpuisi, ia menulis esai. Menulis
esai menurutnya bisa memancing nalar dan membuatnya lebih rileks untuk
berpuisi. Pada tahun 2006 cerpen-cerpennya dimuat beberapa koran dalam dan luar
daerah, namun Esha merasa terlalu banyak menyembunyikan sesuatu dalam cerpen
cerpen yang ditulisnya. Karena merasa kekuatan puitiknya berkurang karena
menulis cerpen, pada tahun 2009 ia memutuskan mengurangi intensitasnya menulis
cerpen. Belakangan masih merasakan godaan untuk menulis cerpen, beberapa
selesai, beberapa lagi tidak pernah selesai.
Antologi
puisi pertamanya, Pinangan Orang Ladang terbitan Frame Publishing Yogyakarta, tahun
2009. Berisi 76 puisi Esha yang mayoritas pernah dipublikasikan
di koran lokal dan nasional, jurnal, internet, dalam kurun waktu 2006-2008.
Beberapa puisi Esha dalam Pinangan Orang Ladang :
masokhis. sebut aku duri dan kau akan menemukanku
sebagai lelaki tanpa mata hati,
lelaki di gulungan ombak
lelaki yang
berseluncur lewat matamu. sebab hari telah
lain, sayang, rinai telah
membenamkan pulau-pulau kita
dan kau
berdayung dalam diri yang amuk. tetap aku duri
menusuk
waktu dengan lirikan yang runcing
sadistik.
menemukan lurah berbatu, kita. matamu yang lain
menelan
jejak di sepanjang jalan. dedaun itu remuk
dan sisa
kopi dalam plastik tinggal dedak, juga bayangan silam
lurah telah
mengubahku jadi maut, sayang, dan percakapan
akan kutelan
sebagai lengah yang tertinggal
Kandangpadati, 2007
di hari yang
paling pucuk,
dan cuaca
berupa diam yang paling rahasia
tali-tali hujan putus
manakala sajak menggulung jadi
kepompong
sebuah suara
dalam lembut bahasa menggema
dari ladang,
dari rangkap musim, dari leburan
basah di
punggung daun
gabuk pohon
dan urat tanah.
“sesuatu
yang berkarib dengan genangan air,
genangan
laju mirip sungai,”
“sesuatu
yang dikutuk
untuk cuma
jadi gema ladang”
kaukah seruan liar itu,
bakal membuat tali-tali hujan
menyambung
diri dengan genangan air?
barangkali
kau cuma seekor kecebong,
atau mungkin
kunang-kunang sepi
yang
mengetuk tiap pintu pohon
dan bertemu
kekasihmu
Jalan Tunggang, 2008
tujuh petang
menukak punggungnya, di bukit
ingin
mencakau alang-alang. niat tinggal kalimat
mirip ragam
umbi yang ditanak dalam periuk
teruka ini
tinggal batas, tinggal jejak, sebab di bukit
ia tumbuh
dan menyusup ke dalam lempung tanah
tujuh petang
menukak punggungnya, di ladang
ada yang tak
pernah hafal desau biola, segelas anggur
atau niat
untuk membangun rumah pasir di tepi pantai
sebab ia
orang ladang. ia lesap ketika mengejar tupai dan beruk,
tujuh petang
gigih menikam, menyansam,
dia rapal
musim petik kopi
dan ketukan
yang berkali pada pintu dangau
ia tahu
siapa yang tiba
maksud hanya menukak tanah lalu
tanam. menanam
lalu petik.
tapi sepi berkuasa terlalu dalam
ia ingin bertuju pada sebuah
jalan batu, simpang
dengan udara
masam, ilalang kering merabuk
ke sebuah
tempat di mana tupai dan beruk berdamai,
bersamanya.
mereka akan berkejaran di bukit
lalu mereka
akan lelap di desau biola
tujuh senja
adalah ia yang ingin berladang
pada sebuah
tanah yang bernama puisi
yang
berlari, yang terhenti, ia tetap orang ladang
dalam botol
anggur,
Kandangpadati, 2008
Teknik-teknik perpuisian dipelajarinya dari banyak
membaca karya penyair Indonesia, kemudian mengembangkannya menjadi pola
tersendiri. Rusli Marzuki Saria, Agus Hernawan, Raudal Tanjung Banua, Riki
Dhamparan Putra, Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto adalah beberapa penyair yang
banyak berpengaruh pada awal prosesnya dalam menulis puisi.
Bersama
beberapa orang seniman lainnya ia menggagas Padang Literary Biennale
(PLB). Padang Literary Biennale merupakan festival sastra dua tahunan yang
diadakan secara swadaya oleh Komunitas Kandangpadati di bawah payung Lembaga
Kebudayaan Ranah, dibantu donasi oleh mereka yang peduli terhadap dunia
kesusastraan. Menurut Esha, acara ini bermula dari persoalan minimnya apresiasi
terhadap kesusastraan di Sumbar. Apalagi kegiatan sejenis pembacaan puisi dari
penyairnya sendiri.
Padang
Literary Biennale yang pertama dilaksanakan dengan mengundang belasan orang sastrawan
muda asal Sumatera Barat untuk membacakan karyanya di depan masyarakat umum.
Tempat pelaksanaan Padang Literary Biennale pertama juga sangat sederhana, di halaman
rumah kontrakan yang dinamakan Kandangpadati, Gg. Kabun, Jl. Tunggan, Kel. Pasaambacang,
pada tanggal 28 April 2012. Tidak hanya para sastrawan muda saja membacakan
karya, beberapa komunitas seni di kota Padang diundang untuk menghadirkan dramatisasi
puisi, musik tradisi dan musikalisasi puisi. Komunitas-komunitas yang ikut membantu
pelaksanaan Padang Literary Biennale pertama tersebut di antaranya Ranah Teater,
Komunitas Rumah Teduh, Serunai Laut, Nan Tumpah, Bengkel Seni Tradisi Minangkabau,
dan Teater Imam Bonjol.
PLB yang
kedua kalinya diadakan pada tanggal 19-21 September 2014 di kawasan Pondok, Fakultas
Sastra Ilmu Budaya Universitas Andalas, Rumah Kopi Nunos, dan Ladang Tari Nan Jombang,
Padang, Sumatera Barat. Mengangkat tema “Kurenah Kato: Kato Puisi Kato Manyimpan,
Kato Curito Kato Mangabaan”. Padang Literary Biennale ingin menghadirkan sebuah
festival dengan standar sendiri, dalam artian, festival ini direncanakan
berlangsung dengan tema-tema berdasarkan penggalian terhadap keunikan khazanah
kebudayaan Minangkabau.
Antologi kedua Esha, Dalam Lipatan Kain berisi 87
puisi yang diterbitkan katabergerak (Motion Publising) pada Maret 2015. Esha
membagi buku Dalam Lipatan Kain dalam beberapa bab, "Rumah di Atas
Gelombang", "Kota dalam Retakan Tempurung", "Tentang Anggun
Nan Tongga", "Oslan dan Lagu Palinggam", serta "Lagu Api
Padam". Tiap puisi dalam bab tersebut punya kecendurangan tematik sama,
kumpulan dari puisi-puisi yang ditulis sejak 2009-2015 dan hampir semua sudah
terbitkan di halaman sastra di koran. Proses persiapan dan kelahiran DLK hampir
sama dengan proses kelahiran anak pertamanya, Dendang Jarek Samato. Dalam
Lipatan Kain masuk 5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa (KLA) ke-15.
Beberapa puisi Dalam Lipatan Kain:
DALAM LIPATAN KAIN
Kutemukan
kembali namamu
dengkurmu,
jatuhan bulu matamu, potongan kukumu
dengung
kalimat terakhirmu sebelum pohon angasa itu
tercabut
dari pangkal.
“Hallo, sisa
dengkurku
telah
menyelamatkanku dari mimpi buruk
dari masa
lalu yang remuk.”
Tapi jatuhan
bulu matamu adalah kangen terbengkalai
potongan
kukumu memberi tanda bahwa usia kian selesai
dengung
kalimat terakhirmu merupa penolakan hari baru.
Padang, Agustus 2014
Sebab
ketakutan ada dalam retakan dinding
coretan
tanggal dengan angka berlepasan
tahun demi
tahun terbujur.
Sebab
ketakutan ada dalam retakan dinding
kereta tua
dengan loko mampus
rel sepanjang muara diputus
jerit orang-orang rantai terperam
batubara
dencing
jeruji beradu besi
dentang
kuali dipukul malam.
“Hamba sahaya, Tuan. Istri mati
tinggalkan anak yang tiga.”
“Hamba buangan, Tuhan. Berkahi kami
kematian cepat tanpa bahasa
dendam.”
Ketakutan,
jagalah kami
di antara
ruang tidak seberapa ini
di koridor
busuk dengan kawat bergetar ini
jagalah
kami, bersama maut, biarkan kami luput.
“Bapak, Bapak… kecuali rel sudah
diputus
ke mana
jalur akan kami perlurus?”
Padang, September
2014
TIGA JAM TELAH
LEWAT
Tiga jam
telah lewat dan malam hampir tergusur
ke dalam
serakan kaca meja.
Masih ada
harum gerai rambutmu
sisa mabuk
berat membuat udara menebar batuk.
“Aku dengar
musik, adinda. Kersik daun kering
pasir
teralih badai, batu-batu hitam tenggelam
anggur
terserak ke lantai
Masih
tersisa lesatan cahya matamu
waktu begitu
cepat membuat napas berangkat.
tapi tiga jam telah lewat
kesendirian benar membikin nyeri
aku jauhkan
jantung dari detak
kusembunyikan
rabu dari udara bergerak
derik bohlam hampir putus itu
kletak suara sepatu…
“Aku dengar
musik, adinda. Langit beralih warna
ledakan
bintang, pohon tumbang, dan jatuhan
tubuh ke
sebuah jurang.”
dan malam sempurna
pudur.
Padang, September 2014
Esha Tegar Putra bersama Ahmad Fuadi, Ragdi F.
Daye, Zelfeni Wimra, Azwar Sutan Malaka, dan banyak sastrawan muda
lainnya merupakan generasi muda sastrawan Indonesia asal Minangkabau setelah
generasi Gus tf Sakai dan kawan-kawan yang tumbuh besar di Sumatera
Barat. Selain menulis, Esha juga mengajar di Jurusan Sastra Indonesia Universitas
Bung Hatta, Padang. Sekarang sedang melanjutkan studi PascaSarjana di
Universitas Indonesia.
********
Pembahasan ini diadakan setiap seminggu sekali, dalam sesi #SelasaTokoh. Terima kasih untuk Tim #SelasaTokoh yaitu : Fahziani, Muchson dan Ani S.
********
*Diambil dari berbagai sumber*
No comments:
Post a Comment
Halo ! Silakan tinggalkan komentar dengan menggunakan bahasa yang baik. Link hidup akan otomatis terhapus ya n_n