Pernah sering merasa kasihan ketika melihat orang yang terganggu jiwanya
berkeliaran di jalan, mengais tong sampah, mencari sisa-sisa nasi yang sudah
tak layak untuk dimakan. Pernah melihat orang seperti itu ditendang-tendang,
dikeroyok manusia yang merasa dirinya “waras”? Atau pernah melihat orang gila
mengamuk di jalanan?
Di suatu hari seorang pria yang punya gangguan
kejiwaan sedang mengamuk di sebuah perempatan jalan di kota Bekasi yang
menyebabkan kemacetan panjang. Tidak ada satu orangpun yang berani mendatangi
orang tersebut karena ia sedang memegang sebilah samurai panjang dengan posisi
siap menyerang. Demikian juga aparat kepolisian yang kebingungan harus
melakukan tindakapan apa. Tiba-tiba seorang pemuda berusia 30-an mendatangi
orang tersebut seraya menyerahkan sebungkus nasi. Orang2 hanya bisa menonton
dan menunggu tindakan pria yang sedang mengamuk tersebut. Kegusaran usai karena
si pria malang itu akhirnya mengambil nasi bungkus dan langsung makan dengan
lahap. Ia melupakan samurai panjang yang ia letakan begitu saja. Insiden yang
tidak dinginkan bisa dihindari berkat pemuda itu, yang ternyata adalah seorang
wakil perawat yang sudah punya pengalaman belasan tahun mengurus pasien ganguan
kejiwaan di Yayasan Galuh di Bekasi.
Yayasan Galuh didirikan oleh Gendu Mulatip. Gendu Mulatif, seorang kakek renta sejak 1982 silam berkutat dalam upaya menyembuhkan orang-orang yang terganggu ingatannya. Mereka dicarinya di berbagai tempat. Di pasar, di emperan jalan, saat tengah mengais tong sampah, saat tengah keluar masuk kampung, bahkan ketika para manusia malang itu terancam dikeroyok warga. Mereka terkucil. Terpinggirkan. Mereka dibawanya pulang, dan berusaha disembuhkan.
Awalnya mereka ditampung dalam rumahnya yang sederhana di Poncol, Bekasi
Timur. Namun akhirnya ia dan para “pasiennya” harus pindah ke tempat yang lebih
luas, yang tak begitu jauh dari lokasi pertama, karena “pasiennya” terus
bertambah.
Apa yang ia dapatkan dari upaya luar biasa itu?
“Justru saya yang mendapat banyak hikmah. Tentang betapa berharganya akal,
tentang betapa berharganya rasa malu yang dikaruniai Alloh. Juga tentang
bagaimana pun terganggunya, mereka tetap manusia, yang perlu perhatian, sama
seperti orang normal. Kalau kita baik dan ikhlas, mereka juga tahu.”Ketika
berinteraksi dengan mereka, ia kadang menangis, karena merasa mereka jauh lebih
besar kemungkinannya masuk surga dibanding dirinya. “Karena mereka sudah
tidak lagi menanggung dosa, sayalah yang berharap bisa “nebeng” mereka nanti di
akhirat, ke dalam ampunan Alloh. Dengan
berusaha merawat mereka.”*
November 10, 2006
Baba Gendu, demikian lelaki kelahiran
10 Agustus 1916 ini biasa dipanggil warga Kampung Poncol, Bekasi Timur. Di usia
tuanya, Baba Gendu menangani dan mengobati ratusan pasien cacat mental dan
gangguan jiwa, yang ditampung di pantinya, Yayasan Galuh Rehabilitasi Cacat
Mental, di Jalan M Hasibuan, Margahayu, Bekasi Timur. Pasiennya sudah tak
terhitung lagi. Dari propinsi Aceh hingga Papua, semuanya pernah tinggal di
sini Yayasan Galuh didirikan oleh Gendu Mulatif, tahun 1984 dan
diresmikan namanya pada 12 Desember 1994.
Galuh adalah singkatan dari kata Gagasan
Leluhur. Nama itu diambil karena ia merasa kemampuannya didapat dari para
leluhur yang telah melahirkannya. Yayasan itu dikelola Bersama anak dan
cucunya, mengurus ratusan pasien.
Perkenalan Baba Gendu, dengan perawatan dan
pengobatan orang-orang cacat mental serta gangguan jiwa berawal tahun 1982. Awal
mulanya adalah kehadiran seorang perempuan yang diteriaki orang gila oleh
anak-anak kecil. Tak hanya berteriak, mereka juga melempar batu. Merasa
dilempar batu, perempuan tersebut membalas tanpa sadar. Sialnya, lemparannya
tepat mengenai jidat salah satu anak itu. Warga pun geger. Gendu, yang menjadi
ketua RT di daerah tersebut langsung bertindak. Perempuan gila itu ia bawa
pulang ke rumah, ia suruh mandi, ganti baju, makan, tidur. Besoknya, ia obati.
Dua minggu kemudian, perempuan itu sudah mulai sadar, bisa cerita. Gendu menyuruhya
pulang. Dua bulan kemudian, perempuan itu datang lagi, sudah bawa KTP (kartu
tanda penduduk). Di situ hatinya mulai terketuk Hingga kemudian timbul
keinginan untuk menjadikan tempat tinggalnya sebagai panti rehabilitasi orang
yang mengalami gangguan kejiwaan.
Sejak itu, setiap sore Baba Gendu
mulai berkeliling, dari pos penjagaan sistem keamanan lingkungan (siskamling)
ke pos penjagaan siskamling lainnya. Dengan dua sedan bututnya, Toyota Crown
warna hitam tahun 1989 dan Toyoto Corolla warna merah tahun 1978, Baba Gendu
keluar kota hanya untuk menjemput mereka yang mengalami gangguan mental dan
mengantar ke rumah tatkala mereka sembuh.
Kabar pun berkembang. Nama Baba Gendu
dikenal sebagai penyembuh gangguan jiwa. Giliran rumah Baba Gendu, yang
didatangi orang-orang atau bahkan petugas dinas sosial yang membawa pasien
gangguan jiwa. Karena banyak yang harus ditampung sementara lahan rumah terbatas
dan sempit, Baba Gendu memindahkan tempat penampungannya ke lokasi baru, yang
sekarang lebih dikenal sebagai panti.
Di panti ini juga diobati dan dirawat
pasien gangguan jiwa akibat kecanduan narkotika. Bahkan ada orang jompo dan
orang telantar dibawa ke sana juga sehingga membuat bingung menampungnya.
Beliau berprinsip, sampah saja ada tempat pembuangannya, banyak yang bisa
dimanfaatkan kembali. Apalagi manusia, ciptaan Tuhan paling sempurna, mereka
memang gila, tp mereka tetap layak di rawat dan disembuhkan. Walaupun rumahnya
selalu bau busuk dan tak jarang orang gila itu buang hajat disembarang tempat,
beliau ttp sabar
Metode pengobatan yang dipakai Pak Gendu sangat sederhana. Dalam kesehariannya, Baba Gendu menerapkan lima cara pengobatan, yaitu doa, pitua atau nasihat, ramuan, urut, dan pijat. Doa, misalnya, diterapkan bagi pasien yang mengalami tekanan batin atau stres. Sementara pitua atau nasihat bagi pasien yang terkena gangguan jin dan makhluk halus atau karena tidak kuat belajar ilmu. Ramuan biasanya diberikan kepada pasien yang terlalu banyak obat-obatan. Pasien yang terganggu jiwanya akibat syaraf urat diberikan metode urut. Untuk metode pijat, biasanya diberikan kepada pasien yang mula akibatnya karena benturan. Tergantung permasalahan awal pasien.
”Kuncinya adalah sabar, jujur, rendah
hati, murah hati, dan bijaksana. Itu kunci segala ilmu pangkal jaya. Itu yang
kami jiwai di panti ini,” Para
perawat pun ditekankan untuk tidak menganggap ini sebagai pekerjaan. “Anggap
saja hobi. Kalau ini dianggap pekerjaan, bisa stress,”
fasilitas yang diberikan tak pernah awet
dirusak pasien sendiri. Terhitung 6 TV hancur. Raket bulutangkis, Meja
pingpong, Telpon, VCD player mengalami nasib yang sama. Tak berusia lama. Dalam
merawat pasien, hati harus benar-benar lurus. Sedikit saja bengkok, yang ada
hanya sakit hati. “Untuk menyembuhkan mereka, yang perlu diingat adalah satu
kata dalam perbuatan, hati gembira adalah obat dan patah tumbuh hilang
berganti,”
Dengan metode2 tersebut sudah tidak
terhitung pasien yang berhasil disembuhkan dan dikembalikan ke masyarakat.
“Adalah kebahagaian yang tak terperi manakala melihat kesembuhan pasien dan
bertemu kebali dengan keluarganya. Sesekali ada diantara mereka yang berkunjung
ke sini untuk mengucapkan terima kasih”
Dengan keaktifannya, yayasan ini terus mencari
pasien. Bahkan, bila ada permintaan, pihak yayasanlah yang menjemput para
pasien. Pengumuman orang hilang yang tayang di SCTV banyak ditemukan di sini. Banyak
juga pasien gila yang datang karena rumah sakit menolak merawatnya. Kepala
polres Bekasi Timur pernah terkaget-kaget. Ketika berkunjung ke panti ini,
didapati ternyata pasiennya banyak berasal dari kantor polres yang ia pimpin.
Bapak Suhartono, staf Yayasan
menjelaskan “kalo di jalan ada wanita cantik, belum tentu
saya liat. Tapi kalo ada orang gila, udah pasti saya berenti, tanya2 dan
ujung2nya membawa mereka ke sini.”
Saat ini panti menampung hampir 300
orang pasien baik laki-laki, anak-anak, atau perempuan. Para staf dengan
sukarela menampung para pasien yang seringkali mereka temukan di jalanan selain
titipan dari instansi kepolisian, RS Umum Bekasi, dan orang-orang yang membawa
anggota keluarga yang terkena gangguan kejiwaan. Tidak semua pasien adalah
orang-orang terlantar, banyak di antara mereka justru punya penghidupan yang
berkecukupan dan beberapa adalah tokoh masyarakat. Pencetus masalah kejiwaan
mereka biasanya bersumber dari tekanan hidup seperti PHK, putus cinta, kecelakaan
yg berakibat syaraf putus, cita-cita yang tidak kesampaian dan genetis serta
narkoba. Bapak Suhartono menambahkan bahwa rata-rata pasien di sini cukup
ganas, namun tetap ia urus dengan kekeluargaan. Biasanya orang-orang seperti
itu menjadi sakit karena kurangnya kasih sayang, sehingga mereka harus diurus
dengan kasih sayang pula.
Cara untuk mengontrol pasien yang baru
datang adalah dirantai selama 3-4 hari. Selama itu, kotoran dari pasien
dibersihkan oleh pengurus . Setelah itu, baru dilihat apa faktor penyebab sakit
si pasien, baru ditentukan apakah pasien ini akan diberikan doa-doa, dipijit,
dan semacamnya. Menangani orang gila seperti bertaruh nyawa. Gigi patah. kelingking
putus, jidat sobek, dagu kena besi panas, karena ada-ada saja ulah pasien.
Namun para staf Yayasan masih ada di sini untuk membantu mereka sembuh.”
Yayasan tidak pernah memungut bayaran sepeserpun terhadap
pasiennya.
Demi menunjang kegiatan panti, termasuk
menjamin setiap pasien memperoleh makanan yang memadai, Yayasan Galuh bertumpu
dari sumbangan keluarga pasien, donatur, dan bantuan tidak tetap dari
pemerintah. Selain itu, Baba Gendu juga memberikan seluruh penghasilan dari
penyewaan 15 delman, jual beli kuda ke
yayasan dan empang kolam ikan yang tak seberapa besar.
Kita juga pernah Bahas Eiji Yoshikawa lho, baca ulasannya
di sini
February 23, 2009
Yayasan dibantu oleh sekitar 60 orang staf,
beberapa di antaranya adalah mantan pasien, kesemuanya bekerja secara sukarela
tanpa pamrih dengan sangu sekedarnya. “Di luar saya mungkin bisa mendapatkan
gaji lebih besar dari di sini, tapi kebahagian yang saya rasakan tidak bisa
diukur dengan uang” kata salah seorang juru masak dan staf lainnya kalau
ditanya alasan mereka berada di tengah para pesakitan. Para staf mungkin tidak
mempunyai gelar akademis dibidang psikiatri, tapi berkat pengalamannya yang
panjang beberapa staf pernah diminta menjadi pembicara dalam sebuah seminar
nasional mengenai masalah kejiwaan yang dihadiri oleh para ahli masalah
kejiwaan. Setahun sekali sejumlah pasien dibawa untuk memeriahkan kegiatan
Agustusan di tingkat kota Bekasi dalam sebuah pawai.
“Ahahaha.. Saya mah dibawa seneng aja. Tiap
acara pawai itu kan rame sekali orang2 di samping jalan, pas kita2 lewat mereka
minggir. Saya kira mereka menghormati kita, eh ternyata karena takut, hehehe.
Kurang lucu apa coba kalo barisan kita yang harusnya ke depan eh malah jalan
mundur?”
Di sini juga pernah berlangsung pernikahan
antara pengurus dan mantan pasien, yang dihadiri oleh Bapak Walikota Bekasi. “Pernikahan itu sungguh merupakan keajaiban. Kami yang tidak
mempunyai dana untuk biaya pernikahan, tiba2 ada rejeki dari beberapa media
untuk melaksanakan hal itu. Pak walikota datang juga dan sempat menangis karena
terharu.”
Lain kali para pasien diminta berlatih upacara
bendera masih dalam rangka acara Agustusan. Saat berlatih keadaan malah menjadi
semrawut, tapi anehnya saat upacara semua berjalan lancar. Beberapa pasien
malah sembuh dan mulai mengingat kembali kejadian masa lalu yang sebelumnya
tersembunyi dalam alam bawah sadar mereka.
Pasien suka memakan sembarang benda. Dari kulit buah, daun, hingga kotoran
manusia. Kebiasaan makan sembarangan itu menunjukkan kadar gangguan mental si
pasien. Pengasuh lain, Suharyono, mengatakan, jika sampai makan kotoran, kadar
gangguannya sudah sangat parah. Orang dengan gangguan jiwa umumnya juga
mengalami gangguan indera, terutama peraba dan perasa. Tidak bisa membedakan
pedas, manis, pahit, atau asam. Luka di tubuh pun kerap tidak dirasakan,
sehingga gampang menyakiti diri sendiri. Di sini istilahnya, orang gila kalau
sakit perut memegang kepala, kalau sakit kepala memegang perut. Tiba-tiba
seorang pasien mendatangi kami, meminjam mikrofon. Ia bergaya mirip penyiar
televisi. Tapi tidak jelas yang dikatakannya. Pasien itu tak bisa dibujuk untuk
menyanyi. Tapi di seberang sana, dekat mushola yayasan, sayup-sayup terdengar
seorang pasien bernyanyi. Sejenak Suharyono memandang musholla itu. Sambil
tersenyum ia mengenang cerita-cerita lucu masa lalu. “Kami kan punya mushola
baru. Waktu itu pas bulan Ramadhan. Ada empat pasien.. Pak tarawih dong pak.
Kita bikin tarawih. Saya nunggu di pintu. Setelah pasien ambil wudhu, pasien
itu azan. Suaranya enak. Hati saya sumringah. Satu orang masuk lagi, azan lagi.
Orang ketiga masuk, azan lagi. Kapan sembahyangnya ini?”
“Saya kadang menangis kalau hari Lebaran. Yang saya tangisi mereka. Belum
tentu saya ke rumah tetangga dulu atau orang tua. Saya minta maaf dulu ke
mereka. Orang-orang takbir, saya keluarin dia… Ayo takbir. Hari ini bikin
bedug, besok rusak. Mukulnya nggak kira-kira. Hari ini beli mik, besok kabelnya
kagak ada. Putus. Dikantongin mik sama dia.”
Mesjid di Yayasan adalah hasil gotong royong para pasien sebagai
salah satu bentuk metode penyembuhan. “Mereka semua dilibatkan dalam
kegiatan sehari-hari karena kami menganggap mereka manusia normal. Petuah Pak
gendu selalu kami ingat dan digunakan untuk proses kesembuhan pasien di sini : “Hati yang gembira adalah obat”.
Ada juga pengurus, sebut saja Pak
Arif, yang mengabdikan hidupnya di sini lebih termotivasi karena ingin
meringankan beban mereka yang senasib dengan istrinya. Sudah sepuluh tahun,
sejak menikah, istrinya menderita gangguan kejiwaan. Jika sedang kambuh, tidak
segan-segan sang istri menanggalkan pakaian meski berada di antara orang
banyak. Empatinya yang sangat besar atas penderitaan istrinya menjadi alasan
kuat mengapa ia terpanggil.
Sebagai ketua perawat di sini, Pak
Suhartono banyak dibantu oleh adik kembarnya, Pak Suharyono. Menurut mereka,
kondisi sekarang ini sudah jauh lebih baik. Ketika Galuh masih belum pindah ke
Bekasi, bahkan untuk menyiram kotoran saja mereka menggunakan ember. Terkadang,
begitu disiram, air kembali ke wajah mereka. Adalah sebuah kemewahan mereka
dapat makan dengan tumis kangkung pada waktu itu. Pernah suatu ketika ada
seorang orang sakit jiwa tua yang tengah sakit parah. Lelaki tua itu mereka
ambil di jalanan. Namanya Widodo. “Itu karakternya unik, lain. Saya sayang sama
dia. Tapi dia nggak ada keluarga. Tiba-tiba dia sakit. Dia renta, dia punya
aura bagus. ‘Yon, gimana nih? Pak Dodo berak-berak. Gue punya duit 20 rebu.’ Ya
udah kita bawa ke rumah sakit. Sampai ke rumah sakit tidak diterima, walau
sudah ada surat keterangan yayasan galuh. Nggak diterima juga. Saya gendong.
BAB jatuh semua ke badan saya. Saya nangis. Kasihan kan kita nolongin orang.
Bukan sodara bukan keluarga. Saya keliling tidak dapat juga. Akhirnya saya dudukin
di tukang rokok. Saya capek. Saya pikir dia tiduran. Ternyata meninggal. Saya
nggak bisa ngomong apa-apa. Lemes. Tapi dia senyum. Saya gendong mayat itu dari
sana ke yayasan. Ditanya sama temen. ‘Woi mana?’ Sodara gue nih tidur. Padahal
mayat. Tiba-tiba, setengah lima, awan gelap. Hujan, gleger-gleger. ‘Ton gimana
nih? Kain kafan nggak ada’. Udah jam tangan gue aja dijual. Handphone nggak
ada, uang nggak ada. Sama kakak saya berdua. Nangis saya. Gali kuburan dalam
keadaan banjir. Ya Allah, tolong saya. Sekarang beli kain kafan ke Pasar Baru.
Setelah mau dikubur, ada aja orang nggak terima. ‘Ei pak, jangan dekat kuburan
sodara saya atau bapak saya. Nanti ketularan gila’. Orang udah meninggal, tidak
ada urusan dengan dunia, kenapa dipertanyakan? Walaupun punya predikat sakit
jiwa, ternyata di kuburan, tetap predikat kuburan orang gila. Coba sampai
mana?”
Gendu Mulatif dan Yayasannya kini sudah
merawat hampir 10.000 orang gila.. Tahun 2009 , kerja keras Baba Gendu dan
Yayasannya mendapat penghargaan dari Metro TV. Kick Andy memberi anugerah
berupa penghargaan kepada pribadi-pribadi yang telah berjasa bagi banyak orang
lewat Kick Andy Heroes 2009.
Lewat tangan pak Gendu, ratusan orang sudah
disembuhkan. Salah satu cara penyembuhan adalah dengan memberi mereka banyak
kegiatan. “kegiatannya bisa apa saja mulai dari bantu-bantu melakukan
tugas-tugas kecil kepada pasien, misalnya menyapu atau mencuci piring supaya
menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa tanggung jawab pasien terhadap
lingkungannya, orang sembuh disini bukan oleh obat. Obat hanya untuk
menenangkan misalnya untuk tidur”
Namun kepulihannya pun tergantung ada
yang cepat dan lama. “Kita hanya mencoba menyembuhkan saja, soal waktunya itu
kuasa dari Tuhan Yang Maha Esa” Namun biasanya gejala orang itu akan sembuh
akan nampak jika orang sakit mental tersebut sudah dapat berinteraksi. “Ya
sekedar memberi salam kepada kita, itu pertanda yang bagus”
“Sembuh dalam arti mereka dapat kembali lagi
ke masyarakat untuk berkarya. Bagaimana pun juga, selalu ada proses untuk
kesembuhan jiwa, terkadang ada masanya pasien yang telah dinyatakan sembuh itu
kembali kumat,”
Eks pasien, Mahyudin, asal Tebet, Jakarta
Selatan, adalah staf yang juga ikut membantu bahkan ketika dulu baru saja
melangsungkan pernikahan dengan Nurhasanah, sesama pasien. Ia kembali ke
Yayasan ini untuk mengabdi. “Saya merasa berhutang banyak kepada yayasan
ini, sehingga saya ingin membantu teman-teman yang lain untuk sembuh seperti
saya,”
Suasana Panti
atap kantor memakai asbes dan tripleks. Di ujung-ujungnya atap terbuka, dan sekeliling ruangan terlihat kusam dan tidak rapih. Barak pasien terbagi tiga. Di bagian kanan, merupakan tempat pasien wanita, dan di tengah dan sebelah kiri merupakan tempat untuk pasien pria. Bau sampah dicampur bau kotoran manusia yang belum dibersihkan serta penyakit kulit yang diderita pasien adalah pemandangan biasa. Kadang ditimpali Penampakan pasien yang telanjang. Pasien sengaja dicukur gundul, supaya tak cepat kotor atau kena sakit kulit karena jarang keramas. layaknya rumah sakit jiwa. adaaaa aja kelakuan dari para pasien. Ada nenek2 yang mondar mandir pake baju menyolok. “Nah, si Ibu ini nih emang doyannya yang berbau harta gitu (apa coba berbau harta..?), jadi kalo nemu gelang, kalung, atau apa gitu langsuung dipake semua.”
Ada juga cewek lewat, “AGUS!!!!!”
si Agus ini diteriakin sama Pak Hartono karena.. MAKE BAJU CEWEK!!! Sontak si
Agus ini langsung nangis! “Dah elah elu dah, baru dipanggil udah
mewek. Kebiasaan bener!”. Bahkan ada seorang bayi mungil yang tinggal di sini.
ia terlahir dari seorang ibu yang dinyatakan gila. "Itu ibunya, abis
ngelahirin udah aja, bayinya kita yang urus. Rambutnya sengaja kita botakin,
abisnya suka dicabutin sendiri", Ada
seorang laki-laki yang suka masuk ke ruang kantor sambil menyalami satu
persatu`tamu yang sedang duduk lalu Memperkenalkan diri dengan nama
"Andre". setelah semua disalami, kemudian Andre duduk di samping
kursi salah satu tamu, lalu mengangkat kedua telapak tangan sambil berkata
"saya lemah syahwat".
Seorang ibu tua bolak-balik menyalami siapa saja yang beliau temui, bisa
sampai 2 atau 3 kali. Atau seorang perempuan yang tidak tau berapa usianya,
senang sekali kalau difoto. Ada pasien yang ngaku2 kalo dia itu
adalah santri dari Ciamis. Pertanyaan dari si “santri” ini ialah “Menurut Anda.. Nabi Muhammad itu punya KTP gak..?”
Lalu ada 2 pria yang dirantai bareng. Katanya,
itu supaya seimbang. Si pasien yg satu maunya jalan2 terus, pasien satu maunya
diem aja. Jadi mereka jalan beriringan, dan tanpa sadar saling mengontrol
antara diri mereka asing2. “Makanya saya paling kesel sama orang
egois. Liat aja, orang gila pun punya cara kok untuk berbagi. Kalo orang waras
egois, itu mah lebih gila dari orang gila menurut saya.“,
ODMK: Mereka yang Terabaikan
Menurut Profesor Dadang Hawari dalam
SUAR, Edisi 1 tahun 2009, diperkirakan dari sekira 220 juta penduduk Indonesia
ada kurang lebih 50 juta atau 22 persen menderita gangguan jiwa, sementara
hanya ada sekitar 700 psikiatris di 48 rumah sakit jiwa yang tersedia. Dalam
beberapa pemberitaan tidak jarang dikabarkan juga bahwa jumlah penderita
gangguan jiwa (Orang Dengan Masalah Kejiwaan—ODMK), dari level paling parah
sampai paling ringan yang sering kita sebut stress, semakin meningkat seiring
kondisi sosial-ekonomi yang tidak kunjung membaik dan beban kehidupan yang
semakin berat dari waktu ke waktu.
Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Indonesia 2007 menunjukkan bahwa penderita gangguan berat di
Indonesia terdapat di empat daerah utama yakni Jakarta 2,03 persen, Aceh 1,85
persen, Sumatera Barat 1,67 persen, Jawa Barat 0,22 persen. Di Indonesia, tidak
mudah menjadi ODMK. Pengabaian dan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh
negara tapi juga oleh masyarakat. Kebijakan negara menangani gangguan jiwa
dapat dikatakan belum maksimal. Selain belum adanya UU Kesehatan Jiwa, menurut
psikiater dari Universitas Indonesia, dr. Irmansyah, Sp.KJ, anggaran untuk penanganan penyakit jiwa
juga kecil: tidak lebih dari 1% dari anggaran kesehatan. Bandingkan dengan
Thailand, misalnya, yang mengalokasikan dana untuk penyakit jiwa sebesar 3%,
Australia 8% atau bahkan negara maju menganggarkan dana kesehatannya untuk
penyakit jiwa di atas 10%.
Direktur Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa
Departemen Kesehatan, dokter Aminullah, mengakui, anggaran untuk kesehatan
memang minim. Menurutnya, ini terjadi karena ada masalah lain yang menjadi
prioritas, seperti, penurunan angka kematian ibu dan bayi, tingkat harapan
hidup dan lain sebagainya. Implikasinya, fokus negara pada bidang kesehatan
terarah pada hal itu sehingga persoalan kesehatan jiwa tidak mendapat cukup
perhatian (SUAR, Edisi 1 tahun 2009). Kebijakan yang tidak berpihak pada ODMK
ini melupakan efek domino yang ditimbulkan. Jika logika yang dipakai untuk
tidak memprioritaskan kesehatan jiwa dalam isu kesehatan adalah karena ODMK
tidak menyebabkan kematian, lantas jawaban apa yang dapat diberikan terhadap
tingginya tingkat bunuh diri karena persoalan kesehatan jiwa? Berapa banyak
gelandangan psikotik yang meninggal terlantar dan dianggap sampah masyarakat?
Berapa banyak pasien jiwa yang tidak terselamatkan di panti-panti rehabilitasi
karena lalai/terlambat diobati? Bagaimana sikap kita terhadap banyaknya pemuda
terindikasi ODMK yang kehilangan masa produktifnya karena tidak maksimalnya
pelayanan dan stigma serta penolakan masyarakat terhadap mereka? Ini belum
mempertimbangkan derita yang harus ditanggung anggota keluarga. Banyak energi
yang harus dikeluarkan untuk menghadapi kondisi yang tidak mengenakkan serta
stigma yang mendiskriminasi ini. Tidak sedikit keluarga yang tidak tahan dengan
kondisi ini dan memilih pasrah (untuk tidak mengatakan putus asa) dan menyerah
pada saat anggota keluarganya pergi dan tidak kembali. Karenanya tidak
mengherankan jika pada akhirnya kita banyak menjumpai gelandangan psikotik di
pinggir-pinggir jalan, di pasar-pasar. Efek yang ditimbulkan, menurut saya,
tidak kalah mengerikan.
Yayasan Galuh adalah sebuah Kepedulian
di Tengah Keterbatasan
Tempat penampungan ODMK yang tidak
terlalu hirau dengan pembiaran negara dan ketidakpedulian masyarakat atas
kondisi ini. Terlepas dari cara pengobatan yang tidak berbasis medik-psikiatrik
dan sering menjadi perdebatan, keberadaaan Yayasan Galuh dan orang-orang yang
peduli (terutama) pada para gelandangan psikotik di sini benar-benar menyentuh
hati. Panti rehab ini setidaknya membutuhkan sekitar 150 kilogram beras
seharinya untuk tiga kali makan. Diperkirakan pengeluaran panti rehab ini per
harinya sekitar Rp 3 juta.
Para pasien yang mengalami cacat mental itu
harus makan tepat waktu agar tidak membuat keributan. Dengan penghasilan
sekitar Rp 28 juta per bulan yang berasal dari donatur tidak tetap ini, hampir
tak masuk di logika, Panti Galuh masih bisa berdiri sampai sekarang. Begitulah.
Kemiskinan dan serba kekurangan sudah menjadi bagian dari hidup mereka bahkan
sejak awal Yayasan Galuh berdiri. Hanya niat tulus dari pendiri dan para
pengurusnya sajalah yang memungkinkan Yayasan ini masih ada dan berdiri sampai
saat ini. Yayasan ini tidak pernah menolak siapa saja yang dikirim dengan atau
tanpa bayaran. Terlepas dari cara pengobatannya yang bagi beberapa orang tidak
masuk akal dan tidak akademis, yang mereka butuhkan justru dukungan dalam
bentuk apapun, moral ataupun material: sebuah pendampingan.
Orang gila yang di luar sana dianggap
sebagai lucu-lucuan, di kompleks ini menjadi sosok manusia yang patut
dipikirkan dan dibantu oleh manusia lain yang merasa dirinya masih lebih waras.
Bantu mereka untuk menyelesaikan masalah
ini !
Berikan support kalian agar Yayasan
Galuh tetap ada.
Kalo ada temen2 yang mau bantu dalam sumbangan baju bekas, bisa langsung datang ke alamat panti di:
Jl. Cut Mutiah Kp. Sepatan Gg. Bambu
Kuning IX RT 03/02 Sepanjang jaya Kec. Rawalumbu Bekasi 17114 dan nomor telpon
(021 33622559), Suhanda Gendu (ketua yayasan yg baru) 0817184336
Karena Pak Hartono berpesan, kalau ada baju bekas yang mungkin bisa disumbangkan, mereka menerima dengan senang hati. inget lagunya Mbah Surip tentang orang gila yang ngaku2 kalo dia udah sembuh.. “Orang-orang.. Belum tahu, kalau aku sudah semboooh.. RT RW, belum tahu kalo aku sudah sembooh. Carik Lurah, Belum tahu, kalau aku sudah semboooh..”
Rabu, 26 Januari 2011, Baba Gendu, pahlawan
para orag gila itu berpulang. Kini, Baba Gendu sudah tiada. Salah satu kalimatnya yang juga paling
diingat adalah: Bahagiakan orang lain kalau ingin diri kita
bahagia.
Gendu Mulatif mungkin juga gila. Sama gilanya
dengan orang-orang gila yang senantiasa dirawatnya. Tapi Gendu orang gila yang
istimewa. Setelah Bapak Gendu meninggal, urusan panti diserahkan kepada kedua
putranya, Suharyono dan Suhartono. Beruntunglah kedua putra beliau memiliki
kepekaan dan kepedulian yang sama seperti ayahnya.
Selamat jalan Bapak Gendu,
semoga semakin banyak orang yang meneladanimu,
semoga Allah menerima seluruh amal kebaikanmu,
No comments:
Post a Comment
Halo ! Silakan tinggalkan komentar dengan menggunakan bahasa yang baik. Link hidup akan otomatis terhapus ya n_n